Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Maksud Ibnu Sabil, Kriteria, Contoh Dan Bagian Zakatnya Menurut Ulama Madzhab


بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم.


Al-Ishlah │ Ibnu-sabil termasuk salah satu dari daftar delapan mustahik zakat, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :


إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالمـسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالمـؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ 


Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, ... .(QS. At-Taubah : 60).


Siapakah yang dimaksud ibnu sabil itu ?


Secara bahasa, istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata, yaitu ibnu yang berarti anak laki-laki, dan sabil yang berarti jalan. Namun ibnu sabil bukan berarti anak jalanan, melainkan bermakna orang yang menempuh perjalanan jauh.


Sedangkan secara istilah, umumnya para ulama mendefiniskan istilah ibnu sabil sebagai : 


المـنْقَطِعُ عَنْ مَالِهِ سَوَاءٌ كَانَ خَارِجَ وَطَنِهِ أَوْ بِوَطَنِهِ أَوْ مَارًّا بِهِ


Orang yang terputus dari hartanya, baik di luar negerinya, atau di dalam negerinya atau melewatinya.


Jadi kira-kira dalam ungkapan yang lebih sederhana di masa sekarang ini, ibnu sabil bisa kita sebut sebagai orang yang kehabisan bekal perjalanan, khususnya harta, dan tidak mampu untuk meneruskannya atau kembali lagi ke rumahnya.




1. Cara Menolong Ibnu Sabil


Para ulama sepakat bahwa bila ada seorang yang hartanya pas-pasan, lalu dia kehabisan bekal dalam perjalanannya, maka dia termasuk orang yang berhak menerima harta zakat. 


Namun para ulama berbeda pendapat, bila orang yang kehabisan harta itu termasuk orang yang berkecukupan di tempat asalnya. Apakah tetap diberi dari harta zakat, ataukah sebaiknya atau seharusnya dia berhutang saja?


1. Berhutang. Mazhab Al-Hanafiyah mengatakan dalam kasus ini sebaiknya orang kaya itu berhutang saja, dan tidak berhak untuk menerima harta zakat.


Demikian juga mazhab Al-Malikiyah, mereka bahwa mewajibkan orang kaya itu untuk berhutang dan bukan menerima harta zakat.


Sebab orang itu adalah orang kaya di tempatnya tinggal, mana mungkin zakat diberikan kepada orang kaya, dimana dia mampu untuk mengganti uang yang bisa dia pinjam dari orang-orang.


2. Menerima Harta Zakat. Sedangkan mazhab As-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah tidak melarang orang yang kaya di tempat tinggalnya, untuk menerima harta dari zakat, bila dia kehabisan bekal.


Meski dia kaya di tempat tinggalnya, tetapi pada saat sedang kehabisan bekal dia tidak bisa disebut kaya. Dan dia tetap butuh pertolongan dan santunan, setidaknya untuk bisa kembali ke tempat tinggalnya.


Dan tidak mudah bagi seseorang yang dalam perjalanannya, untuk bisa begitu saja berhutang kepada orang lain. Sebab dimana-mana hutang itu butuh jaminan, sementara tidak ada yang bisa dijaminkan dalam keadaaan seperti itu.




2. Syarat Dikategorikan Ibnu Sabil


Ada beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama bagi ibnu sabil, agar berhak mendapatkan harta zakat, antara lain :


1. Muslim dan Bukan Ahlul Bait. Syarat ini adalah syarat paling standar bagi semua penerima harta zakat.


2. Di tangannya tidak ada harta lain. Syarat ini menegaskan bahwa bila seorang musafir masih punya harta dari jenis yang lain, yang bisa mengantarkannya sampai ke rumahnya, maka dia belum termasuk mustahik zakat.


Misalnya, seseorang kehabisan uang tunai di perjalannya, tetapi dia punya barang berharga seperti emas, berlian, pakaian, perhiasan, atau apapun yang bisa dijualnya atau dijadikan jaminan untuk hutang buat ongkos pulang, maka pada hakikatnya dia masih punya harta. Demikian juga bila masih punya kendaraan untuk pulang, entah dengan cara menjualnya atau menaikinya, maka pada dasarnya dia masih bisa pulang tanpa harus disantuni dari harta zakat.


3. Bukan Perjalanan Maksiat. Seorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan memang berhak menerima santunan dari zakat, dengan syarat perjalanannya itu bukan perjalanan yang maksiat dan tidak diridhai Allah swt. 


Perjalanan itu tidak harus merupakan perjalanan ibadah seperti haji atau menuntut ilmu, asalkan perjalanan itu mubah, seperti tamasya, silaturahim atau bisnis yang halal, maka sudah termasuk memenuhi syarat. Sebaliknya, bila niat besar perjalanan itu adalah untuk merampok, mencuri, korupsi, atau bermabuk-mabukan bahkan berzina, maka bila dia kehabisan bekal dan uang, tidak boleh disantuni dari harta zakat.


4. Tidak Ada Pihak Yang Bersedia Meminjamkannya. Syarat ini khusus hanya diajukan oleh mazhab Al-Malikiyah saja. Bila orang itu kaya di tempat tinggalnya, dan dia bisa berhutang untuk nantinya diganti dengan hartanya setelah kembali, maka menurut Al-Malikiyah, orang itu tidak berhak menerima santunan dari harta zakat.




3. Contoh Nyata Di Masa Kini


1. Tenaga Kerja Indonesia Yang Terlunta-lunta. Di antara mereka yang termasuk ke dalam kelompok ibnu sabil di masa kita sekarang ini adalah para tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta di negeri orang. Diperkirakan jumlah buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri sebesar 4,5 juta orang. Sebagian besar diantara mereka adalah perempuan (sekitar 70 %) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur.


2. Perdagangan Manusia (Human Trafiking). Perdagangan Manusia atau human trafiking adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi




4. Pendapat Sayid Sabiq Dalam Fikih Sunnah

Musafir Terlantar Berhak Atas Zakat. Para ulama sekata, bahwa musafir yang terputus dari negerinya, diberi bagian zakat yang akan dapat membantunya mencapai maksud, jika tidak sedikit pun dari hartanya yang tersisa, disebabkan kemiskinan yang dialaminya. 
Bukan Perjalanan Maksiat. Dalam hal ini mereka mensyaratkan bahwa perjalanannya itu hendaklah dalam melakukan ketaatan atau tidak dalam kemaksiatan. Mengenai perjalanan mubah mereka bertikai peham. Yang lebih kuat menurut golongan Syafi'i, bahwa boleh menerima zakat, bahkan walau perjalanan itu buat melancong, atau bertamasya.
Dalam Negeri & Asing. Menurut golongan Syafi'i ini, ibnu sabil itu ada 2 macam: 1. Orang yang mengadakan perjalanan di negeri tempat tinggalnya, artinya di tanah airnya sendiri. 2. Orang asing yang menjadi musafir, yang melintasi sesuatu negeri. 
Berhak Walau Ada Yang Meminjami Dan Mampu Bayar. Menurut Syafi'i kedua golongan ini berhak menerima zakat, walau ada yang bersedia meminjaminya uang, sedang di tanah airnya ada hartanya untuk pembayar nanti. 
Tidak Berhak Untuk Orang Lokal Atau Ada Yang Bersedia Memimjami Dan Di Kampungnya Mampu. Menurut Malik dan Ahmad, ibnu sabil yang berhak menerima zakat itu khusus bagi yang melewati sesuatu negeri, bukan musafir dalam negeri. Bagi mereka pula, tidak boleh diberi zakat musafir yang menemukan seseorang yang akan mempiutanginya, sedang di kampungnya ada harta yang cukup untuk membayar utangnya itu. Jika tidak seorang pun yang bersedia memberinya pinjaman, atau tidak punya harta untuk membayar utangnya, barulah ia diberi bagian.


Semoga bermanfaat.


ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ 


“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”


Sumber:

Fikih Sunnah 3, hal.124-125, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif- Bandung.

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1425664604&=.htm

Posting Komentar untuk "Maksud Ibnu Sabil, Kriteria, Contoh Dan Bagian Zakatnya Menurut Ulama Madzhab"