Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syarat, Kriteria Dan Prioritas Menjadi Imam Shalat Berjama'ah

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Al-Ishlah │ Imam (Bahasa Arab إمام Imām) adalah sebuah posisi pemimpin dalam agama Islam. Dikalangan Sunni, kalimat imam sinonim dengan kalimat Khalīfah. Dalam berbagai keadaan kalimat imam juga bisa berarti pemimpin shalat berjamaah dan kalimat imam juga bisa digunakan untuk gelar para ilmuwan agama Islam terkenal. Sedangkan pengertian imam dalam konteks shalat atau imam shalat, adalah pimpinan dalam shalat jamaah, baik dalam kedudukannya yang tetap maupun dalam keadaan yang sementara, sang imam berdiri paling depan dari barisan jamaah shalat. Siapakah saja yang berhak menjadi imam shalat; dan apa kriterianya ?


Orang yang lebih berhak menjadi imam ialah orang yang terpandai dalam membaca Kitab Al-Qur'an. Kalau mereka sama, maka yang terpandai dalam hadits Nabi saw. dan kalau sama, maka yang terlebih dahulu hijrah, sedang kalau masih sama, maka yang tertua usianya.


1. Dari Abu Sa'id r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:


إِذَا كَانُوا ثَلاَثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ 


"Jika mereka bertiga, maka hendaklah salah seorang tampil menjadi imam, sedang yang lebih berhak menjadi imam itu ialah yang terpandai dalam bacaan Al-Qur'an."[1].


Yang dimaksud terpandai dalam bacaan ialah yang terbanyak hafalannya, berdasarkan hadits 'Amar bin Salamah dimana disebutkan:


"Hendaklah yang menjadi imammu itu orang yang terbanyak hafalan Al-Qur'annya!"


2. Dari Ibnu Mas'ud r.a., bahwa Rasulullah saw.bersabda:


يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِى الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ


"Yang lebih berhak menjadi imam bagi suatu kaum ialah yang terpandai dalam membaca Kitabullah, kalau dalam membaca ini mereka sama, maka yang terpandai dalam hadits Nabi saw. dan kalau dalam hal ini mereka sama pula, maka yang terdahulu hijrah, dan kalau dalam hijrah mereka masih sama, maka yang tertua usianya. Dan janganlah seseorang itu menjadi imam bagi orang lain di lingkungan kekuasaannya, dan jangan pula ia duduk di hamparan rumah orang lain kecuali dengan izinnya!" Menurut satu riwayat, lafadznya berbunyi sebagai berikut:"Janganlah seseorang menjadi imam bagi orang lain di lingkungan keluarga atau kekuasaannya!"[2].


Hadits ini juga diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur, tetapi di dalamnya terdapat kata-kata: 


"Janganlah seseorang itu menjadi imam orang lain di dalam lingkungan kekuasaannya kecuali dengan izinnya, dan jangan pula duduk di hamparan rumah orang lain kecuali dengan izinnya!"


Maksudnya ialah bahwa orang yang menguasai suatu lingkungan, kepala keluarga atau pemimpin suatu majelis, ialah sebenarnya yang lebih berhak menjadi imam di lingkungan atau tempat itu, selama belum diberikannya kepada orang lain.



Dan Dari Abu Hurairah r.a. Nabi saw.bersabda:


"Tiada dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menjadi imam bagi suatu kaum kecuali dengan izin mereka, juga tidak dibolehkan mengkhususkan doa bagi diri sendiri dengan mengenyampingkan lain-lainnya. Jika seseorang melakukan itu, berarti ia telah menghianati mereka."[3].



1. Orang-Orang Yang Sah Menjadi Imam & Riwayatnya.

Anak yang sudah memayyiz sah menjadi imam. 'Amar bin Salamah pernah menjadi imam bagi kaumnya sedangkan ia masih berumur enam atau tujuh tahun.
Orang buta sah menjadi imam orang yang melek. Rasulullah saw. pernah mewakilkan kepada Ibnu Ummi Maktum agar mengimami orang-orang Madinah sampai dua kali, sedang ia adalah seorang buta.
Yang lebih rendah kedudukannya bagi yang lebih tinggi dan sebaliknya. Rasulullah saw. juga pernah shalat di belakang Abu Bakar r.a. di waktu sakit yang membawa ajalanya dengan duduk. 
Orang yang berdiri sah menjadi imam bagi orang yang duduk dan sebaliknya. Beliau Nabi saw. juga pernah shalat sambil duduk di waktu sakit sedang di belakangnya berdiri orang-orang banyak sebagai makmum, kemudian beliau memberi isyarat agar orang-orang itu duduk saja semuanya. Selesai shalat beliau bersabda:إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا "Diadakan imam ialah dengan maksud untuk diikuti, maka kalau ia ruku' ruku'lah kamu, kalau ia mengangkat kepala, angkatlah kepalamu pula, dan kalau ia bershalat duduk, shalatlah pula dengan duduk di belakangnya!"[4].
Juga sah orang yang bershalat fardhu bagi yang bershalat sunat dan sebaliknya. Mu'adz pernah bershalat bersama Nabi saw. yakni shalat 'Isya, kemudian kembali kepada kaumnya dan bershalat lagi mengimami mereka yakni shalat 'Isya juga. Jadi shalatnya sendiri adalah sunah, sedang kaumnya shalat fardhu. Mihjan bin Adar' berkata: "Saya datang kepada Nabi saw. sedang berada di masjid. Waktu shalat tiba, beliau bershalat dan saya tidak. Maka beliau bertanya:'Tidak shalatkah kamu'? jawab saya: 'Ya Rasulullah, saya telah bershalat di rumah tadi, lalu saya datang kemari'. Beliau pun bersabda lagi: 'Jika engkau ke sini, bershalatlah dengan mereka, dan niatkan lah sebagai shalat sunnah'! Pernah pula Rasulullah saw. melihat seseorang bershalat sendirian, maka tanyanya: "Tidak adakah seseorang yang suka bersedekah kepada orang ini, lalu bershalat bersamanya'? 
Orang yang berwudhu bagi orang yang bertayammum dan sebaliknya. Amr bin 'Ash pernah bershalat sebagai imam dengan bertayammum, dan hal tu disetujui oleh Nabi saw. 
Orang yang mukim sah menjadi imam bagi musafir dan sebaliknya. Waktu kota mekah dibebaskan, Rasulullah saw. bershalat dua-dua rakaat selain shalat Maghrib dan bersabda: 'Wahai penduduk Makah, berdirilah dan bersahalatlah dua raka'at lagi, sebab kami ini sedang dalam perjalanan'!" Pelu diketahui bahwa seseorang yang musafir apabila bershalat di belakang seorang mukim, hendklah menyempurnakan empat raka'at, sekalipun yang didapatkan dari imam itu kurang dari satu raka'at.



2. Hukum sah Atau Tidaknya Menjadi Imam.

Orang-Orang Yang Tidak Sah Menjadi Imam. Orang Yang berudzur [5] tidak sah menjadi imam bagi makmum yang sehat, atau makmum yang udzurnya berlainan dengan imam [6]. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi pendapat golongan Maliki, hal itu boleh saja, hanya hukumnya makruh.
Sunnahnya Wanita Mengimami Wanita. 'Aisyah r.a. sering bertindak sebagai imam bagi kaum wanita dan berdiri bersama mereka dalam barisan. Demikian pula halnya Ummu Salamah, bahwa Rasulullah saw. mengangkat seorang muadzdzin untuk Ummu Waraqah dan diperintahkannya supaya ia menjadi imam bagi keluarganya dalam shalat-shalat fardhu.
Lelaki Menjadi Imam Khusus Wanita. Abu Ya'la dan Thabrani meriwayatkan dalam kitab Al-Ausath dengan sanad hasan. "Bahwa Ubai bin Ka'ab datang kepada Nabi saw. katanya: "Ya Rasulullah, semalam saya mengerjakan sesuatu amal' Tanya Nabi saw.:'Apakah itu?'Ujarnya: 'Di rumah ada beberapa orang wanita; kata mereka: Anda dapat membaca sedang kami tidak. Dari itu shalatlah sebagai imam bagi kami! Maka saya shalatlah delapan raka'at lalu berwitir'. Nabi saw. diam saja. Maka diamnya itu kita anggap sebagai ridhanya.
Orang Fasik Dan Ahli Bid'ah Makruh Menjadi Imam. Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar bershalat di belakang Hajjaj. Dan Muslim meriwayatkan bahw Abu Sa'id al-Khudri juga bershalat di belakang Marwan pada waktu shalat Hari Raya. Ibnu Mas'ud pun pernah bershalat di belakang Walid bin 'Uthbah bin Abi Mu'ith, padahal orang ini suka minum arak hingga oleh Utsman bin Affan dijatuhi hukuman dera karena pernah pula shalat shubuh dengan orang banyak sebanyak 4 raka'at. Demikian pula para shahabat serta thabi'in sama bershalat di belakang Ibnu Abi 'Ubaid, padahal ia dituduh sebagi atheis dan gemar mengajak kepada kesesatan.


Prinsipnya menurut para ulama, bahwa barang siapa yang sah shalatnya untuk dirinya sendiri, maka sahlah pula untuk orang lain. Tetapi walaupun demikian, para ulama memandang makruh seseorang yang bershalat di belakang orang fasik atau ahli bid'ah. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Mundziri dari Su'aib bin Khallad. katanya:


أَنَّ رَجُلًا أَمَّ قَوْمًا فَبَصَقَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ فَرَغَ لَا يُصَلِّي لَكُم


"Ada seseorang yang menjadi imam bagi segolongan kaum dan meludah ke arah kiblat sedang Rasulullah saw. melihatnya. Beliau pun bersabda: 'Orang itu tidak boleh menjadi imammu!'"


ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ 

“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” 


Sumber:

http://www.jadipintar.com/
Fikih Sunnah 2 hal.145-152, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif.


------------------------------------------------------


[1]. H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa'i.


[2]. H.R. Ahmad dan Muslim.


[3]. H.R. Abu Daud.


[4]. Madzhab Ishak, Auza'i, Ibnul Mundzir serta golongan Dhahiri berpendapat bahwa tidak boleh orang berdiri mengikuti orang yang shalat sambil duduk disebabkan uzur, hanya hendaklah ia turut duduk pula, berdasarkan hadits tersebut. Ada pula yang mengatakan hadits itu mansukh, artinya telah dihapus.


[5]. Misal yang selalu kencing atau keluar angin dari dubur.


[6]. Misalnya orang yang selalu kencing menjadi imam bagi orang yang selalu lepas angin.

Posting Komentar untuk "Syarat, Kriteria Dan Prioritas Menjadi Imam Shalat Berjama'ah"