Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Topik 32: ASAL-USUL KURSI

Kata "karosi" dalam bahasa Minang artinya "kursi". Misalkan dalam kalimat "karosi tu ampuak bana" (kursi itu empuk banget). Kata "kursi" dan "karosi" dua-duanya diserap ke dalam bahasa Minang dan bahasa Indonesia dari bahasa Arab. Kata "kursi" dalam bahasa Arab maknanya tepat sama dengan "kursi" dalam bahasa Indonesia. Sedangkan jamaknya "kursi" dalam bahasa Arab adalah "karosi". Menarik. Bahasa minang mengambil jamaknya (yaitu "karosi"), sedangkan bahasa Indonesia mengambil tunggalnya ("kursi").

Apa sebabnya? Mungkin karena struktur bahasa Indonesia tidak terlalu "peduli" dengan bentuk jamak. Sebagai contoh, "ulama" dalam bahasa Arab artinya adalah orang-orang yang mempunyai ilmu. Sedangkan satu orang yang memiliki ilmu dalam bahasa Arab disebut "alim". Kedua kata tsb yaitu "alim" dan "ulama" dua-duanya diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hanya saja, terjadi penyempitan makna pada kata "ulama", dan terjadi pergeseran makna pada kata "alim".

Satu orang yang berilmu (khususnya ilmu agama), sering disebut orang di Indonesia ini dengan istilah "ulama". Padahal di bahasa Arab, kata "ulama" itu dipakai untuk sekumpulan orang yang berilmu. Jadi terjadi penyempitan makna (dari kata untuk banyak orang, menjadi untuk satu orang). Seperti disebutkan: " para ulama sepakat bahwa membunuh itu dosa besar". Kata "para ulama" dalam kalimat diatas maksudnya "beberapa ulama". Kalau mau konsisten dengan kaidah bahasa Arab, semestinya kalimatnya berbunyi "para alim sepakat bahwa membunuh itu dosa besar".

Kata "alim" sendiri, yang dalam bahasa Arab adalah bentuk tunggal dari kata "ulama". Di Indonesia kata "alim" ini telah bergeser maknanya. Misal dalam kalimat "dia orangnya alim banget ya…". Maksud "alim" disini adalah "soleh" atau "rajin beribadah". Padahal dalam bahasa Arab, kata "alim" ini artinya "orang yang berilmu".

Ada lagi kata serapan dari bahasa Arab, bentukan dari "alim" ini, yaitu "mu’allim" atau kadang hanya dibaca "mualim". Sewaktu saya naik kapal ferry di selat Sunda, biasanya disebutkan, "dalam pelayaran ini kapal ini dikomandani oleh Mualim kapal [sebuah nama disebutkan]". Kata "mu'allim" atau kadang dibaca "mualim" oleh kita, dalam bahasa Arab artinya "orang yang mengajarkan sebuah ilmu" atau "guru". Tampaknya kata "mualim" dalam kasus ini bergeser artinya menjadi "nahkoda kapal".

Orang Indonesia, mungkin terkenal dengan kesabarannya. Sesuatu yang sedikit dianggap banyak. Contohnya, kata "kalimat" dalam bahasa Arab artinya "sebuah kata". Lalu orang kita menyerap kata tersebut dan "membanyakkan" artinya. Jadilah dalam bahasa kita, kata "kalimat" yang di bahasa Arab artinya "satu kata" di Indonesia artinya susunan "banyak kata".

Sama halnya dengan "seseorang yang punya ilmu" orang kita menyebut "ulama (kumpulan orang berilmu)". Mungkin kita telah menganggap "satu orang yang berilmu" setara dengan "orang-orang yang berilmu". Jadilah kita menyebut "ulama" walau untuk itu hanya untuk satu orang. Dan orang Minang mungkin menganggap: walau baru punya satu kursi, tapi tetap merasa punya "karosi" (banyak kursi).


Asal-usul Asli


Kata "asal-usul" diserap dari bahasa Arab "ushuul" yang artinya pondasi, asal, atau pokok-pokok. Seperti dalam istilah “Ushul Fiqih” yang artinya landasan/dasar-dasar fiqih, atau pokok-pokok fiqih. Dalam bentuk lain (bentuk mufrod atau tunggalnya) kata "ushul" ini menjadi "ashl" yang diserap menjadi "asal". Sedangkan kata "ushuul" diserap menjadi "usul". Oleh orang kita, kedua kata ini diserap dan digandengkan, menjadilah dia “asal-usul”. Mengenai ini mungkin dulu orang-orang kita sewaktu belajar bahasa Arab, cara mereka mengingat adalah dengan mengingat kata tunggal dan jamaknya sekaligus: ashl - ushuul (atau asal-usul). Di kebanyakan tempat pembelajaran Bahasa Arabpun saat ini sepertinya metode ini sering digunakan (yaitu menghafalkan kata tunggal dan digandeng dengan jamaknya sekaligus).

Kata "ashl" jika nasab menjadi "ashli" yang oleh kita diserap menjadi "asli". Kadang kita suka berkata : "aslinya rumah ini bersih lho…" ketika mengatakan sebuah rumah yang jorok tidak terurus karena ditinggalkan pemiliknya. Disini makna "asli" mirip dengan kata Arabnya yaitu "ushl" atau "ashl", yaitu asalnya atau pokok dari rumah itu bersih, karena ditinggalkan jadilah dia kotor.

'Iffah

Orang tua kita kadang kreatif. Kata " 'afaf " artinya "pengendalian diri", seperti dalam doa "Allahumma inna nasalukal huda wattuqo... wal 'afaafa wal ghinaa" yang bermakna: "Ya Allah berilah kami petunjuk, taqwa, pengendalian diri dan kekayaan". Kata " 'afaafa" atau "afaf" yang berarti pengendalian diri diambil jadi nama anak. "Afif" untuk anak laki-laki, "afifah" untuk anak perempuan. Teman saya dari Palembang namanya "apip", ini sama saja dengan "afif". Mungkin orang tuanya dulu berharap dia menjadi orang yang bisa mengendalikan diri.

Mengani doa diatas, saya jadi ingat nasehat orang-orang alim zaman dulu. “Nak... mintalah kekayaan yang banyak ke Allah, tapi jangan lupa dapatkan dulu Afif”. Maksudnya pastilah, bukan “dapatkan dulu suami bernama Afif”, tapi dapatkan dulu kekuatan untuk mengendalikan diri. Dari sini terkandung hikmah yang besar dari doa tsb, mengapa minta “Afaafaa” (pengendalian diri) lebih didahulukan daripada minta harta. Apalah artinya harta banyak, kalau diri tidak bisa dikendalikan?

Kata bentukan yang serupa maknanya dangan “afaf” adalah " 'iffah" yang artinya "menjaga kehormatan diri”. Sifat " 'iffah" ini dalam sejarah ditunjukkan oleh sahabat Abdurrahman bin Auf, sewaktu menolak dengan lembut, tawaran diberikan harta, rumah atau istri dari sahabat Anshor pasca hijrah, untuk membantu perekonomian kaum Muhajirin. Dengan sangat halus dia berkata : "... terima kasih wahai saudaraku atas tawaranmu. Sesungguhnya aku ini pedagang, maka tunjukkanlah aku dimana pasar". Sikap ini mencerminkan sikap yang tidak mentang-mentang, tidak ingin merepotkan orang lain, dan ingin bertumpu pada kekuatan sendiri. Sikap menjaga kehormatan diri ini disebut " 'iffah".

Di beberapa daerah di Indonesia, dialek lokal dicampurkan pada kata " 'iffah" sehingga menjadi "ipah" di Sumatera atau "ipeh" kata orang Betawi. “Ipeeeh… ini Nya’ Babe cariin laki si Apip yee…”

Allahu a ’lam bish-showwab

Cibubur, 3 September 2007

Posting Komentar untuk "Topik 32: ASAL-USUL KURSI"